Teori Belajar dan Pembelajaran
(Masa Lalu, Masa Kini dan Masa Depan)
Dari masa ke
masa teori belajar dan pembelajaran berubah dan berkembang menjadi lebih baik.
Teori-teori tersebut berkembeng sesuai dengan perkembangan zaman selain itu
karena munculnya teori-teori baru ynag lebih kompleks dan lebih baik untuk
digunakan.
Sebelum kita
menggunakan atau menitik beratkan pada sebuah teori, kita sebagai calon
pendidik terlebih dahulu mengetahui pengertian dan penerapan teori-teori
tersebut. Selain itu juga perlu mengetahui teori mana yang cocok digunakan
dalam pembelajaran.
Persoalan
yang membedakan teori-teori pembelajaran
Setiap
teori-teori pembelajaran pasti memiliki persoalan yang membedakan dengan teori
yang lainnya, selain itu juga memiliki perubahan dari masa ke masa.
Persoalan
yang mendasar antara lain persoalan mengenai hakikat pembelajaran dan prose
pembentukan teori (Hilner 1978).
Delapan
persoalan yang kontrofersial antara lain: variabel perantara yang digunakan,
hal-hal tertentu yang berperan sebagai variable perantara dalam teori bersifat
kognitif atau koneksionisme, penguatan yang digunakan dalam teori merupakan
hakikat dasar dan inti dalam pembelajaran, suatu pembelajaran yang harus
dianalisis pada level molar atau pada level molecular, persoalan selanjutnya
yaitu apakah teori tersebut disajikan secara formal atau informal, luas cakupan
teori tersebut, penekanan diberikan pada pengaruh aspek bawaan terhadap
perilaku dan pada pengaruh batasan-batasan biologis (biological constraints)
terhadap pembelajaran, dan persoalan yang terakhir yaitu mengenai kepraktisan
teori tersebut.
Persoalan-persoalan
teori tersebut diperdebatkan oleh para teoritis yaitu seperti Tolman, Hull,
Skinner, Thorndike, Watson, Guthrie, Estes dan Miller. Mereka memperdebatkan masalah-masalah
tersebut sesuai dengan teori-teori yang mereka kemukakan.
v Kriteria
teori yang ideal
Jenis teori
ideal yang diperjuangkan oleh para teoritis yang paling ambisius adalah yang
mirip dengan cita-cita yang digagas oleh Hull namun gagal diwujudkan yaitu:
format, akurat, konsisten secara internal, namun sekaligus juga cuckup luas
cangkupannya sehingga meliputi seluruh topic mengenai pembelajaran dan
motivasi. Teori tersebut memiliki berbagai postulat dan teorema dan
terkonstruksi sedemikian rupa sehingga bisa diubah untuk menangani bukti baru
ketika teorema tertentu gagal dikukuhkan oleh eksperimen. Selain kombinasi
keluasan dan akurasi teori tersebut juga harus berguna dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan praktis.
Teori ideal
ini mengandung variable-variabel perantara dan sebagai teori formal
variable-variabelnya dinyatakan secara eksplisit. Variabel-variabelnya jauh
lebih kognitif dibandingkan pada teori-teori terdahuku yang ada di posisi
tengah, variable tersebut terkait dengan perolehan, penyimpanan, dan penggunaan
informasi, keyakinan dan bukti-bukti yang mendasarinya, pikiran yang logis dan
tidak logis.
Selain itu
teori tersebut juga bersifat koneksionisme dalam pengertian lainnya. Teori itu
bukan hanya menjelaskan pengetahuan dan pemahaman kita melainkan juga
respon-respon yang kita buat secara otomatis tanpa berfikir dan kemahiran yang
bisa kita lakukan tanpa kita mampu menjelaskan caranya. Tolman (1949) mengakui
adanya pembelajaran non-kognitif atas apa yang disebutnya sebagai pola-pola motorik.
Jadi meskipun detail-detail teori tersebut sangat kompleks para teoritis tidak
menghadapi masalah yang berarti dalam menunjukkan bahwa sebagian dari detail
itu jelas-jelas bersifat koneksionis dan yang lainnya kognitif.
Ada dua
aspek pembelajaran yang perlu disinggung, yang pertama adalah hakikat
memori. Sepanjang berfokus pada pengetahuan dan pembelajaran melalui
pengamatan, nampaknya akan lebih konsisten bila kita membahas memori sebagai
pemanggilan kembali informasi simpanan dari pada sebagai persaingan diantara
respon-respon. Di sisi lain untuk keahlian-keahlian yang amat praktis, termasuk
keahlian verbal, teori interferensi. Selain itu teori yang kompleks tidak dapat
mengabaikan cara asimilasi pengalaman baru kedalam skemata
Aspek yeng kedua
yaitu persepsi. Kebanyakan teoritis pembelajaran memandanag persepsi sebagai
hal yang tidak perlu dipersoalkan. Sementara itu kalangan Gestalt yang berfokus
pada persepsi tergolong kelompok teoritis pembelajaran yang sekunder.
Pembelajaran tidak bisa berlangsung melebihi input perceptual yang
mendasarinya, sehingga persepsi tidak bisa diabaikan oleh semua teori yang
dianggap komplit. Istilah register sensori yang dikemukakan Atkinson dan
Shiffri adalah salah satu contoh konsep persepsi dalamteori pembelajaran (teori
memori)
v Arti
penting teori pembelajaran masa kini
Pada
psikologi pembelajaran terapan memiliki arti penting bukan hanya sebagai cara
menempatkan teori-teori dalam penggunaannya yang praktis melainkan juga sebagai
cara untuk memperbaiki teori-teori. Disamping konstribusi lainnya, studi-studi
terapan membantu kita memastikan kondisi-kondisibatas yang ada pada teori. Jika
sebuah teori yang bertolak dari data leboratorium digunakan untuk memprediksi
sebuah situasi terapan dan perdiksinya tidak terbukti, kejadian ini menunjukkan
bahwa teori tersebut tidak sesuai untuk situasi tersebut. Sekalipun demikian
teori tersebut mungkin tetap berhasil sempurna untuk memprediksi teori-teori
lainnya. Selain itu studi-studi terapan memunculkan hukum-hukum baru yang
nantinya bisa digunakan untuk memodifikasi teori lama atau membangun teori
baru.
Bagi kita
pada umumnya teori-teori pembelajaran memiliki dua arti penting yang pokok. Pertama,
teori pembelajaran menyediakan kosa kata dan kerangka konseptual yang bisa kita
gunakan untuk menginterpretasi contoh-contoh pembelajaran yang kita amati. Hal
ini penting artinya bagi siapa saja yang hendak mengamati dunia secara seksama.
Kedua, masih terkait dengan yang pertama, teori pembelajaran menuntun kita
kemana harus mencari solusi atas persoalan-persoalan praktis. Teori memang
tidak memberikan kita solusi, namun teori mengarahkan perhatian kita kepada
variable-variabel yang bermanfaat untuk menemukan solusi.
Guthrie
mengarahkan kita pada perlunya mempraktikan respon yang hendak dipelajari dalam
kondisi tertentu dimana respon tersebut akan digunakan, dan juga perlunya
mempraktikan respon tertentu dalam kondisi yang berbeda-beda agar rsepon itu
tertanam kuat dalam diri kita. Skinner m,emberi saran agar kita mencari tahu
hal apa yang menguatkan tindakan tertentu, sehingga kita bisa menghadirkan
penguat itu jika kita ingin tindakan itu terjadi atu menghilamgkannyajika kita
ingin menghapus tindakan tersebut. Piaget dan Gagne menekankan begaimana
pembelajaran pada saat ini berkembang dari pembelajaran pada waktu sebelumnya.
Tolman, Hull, Estes dan Anderson menawarkan banyak usulan serupa dengan
bentuk-bentuk yang lebih teknis. Semua usulan ini membutuhkan kreativitas
tertentu bila hendak diterapkan dalam penggunaan praktis. Masin-masing juga
menekankan aspek tertentu dalam proses pembelajaran yang perlu kita
pertimbangkan. Dengan demikian semuanya berfungsi memperkaya pemahaman kita
terhadap situasi-situasi pembelajaran yang kita amati dan membantu kita
menemukan solusi atas problema pembelajaran praktis yang kita hadapi. Meski
banyak teoritis yang ingin memberikan konstribusi yang lebih besar dari semua
ini, dan sampai kadar tertentu mereka berhasil melakukannya, kontribusi seperti
ini saja sudah cukup menjadikan teori-teori mereka sebagai hal yang tidak
ternilai harganya bagi studi mengenai pembelajaran.
v Analisis
teori pembelajaran
A. Teori Behaviorisme
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya
dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata
lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan
individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih
refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai
individu. Dengan kata lain proses pembelajaran menurut teori Behaviorisme
adalah bahwa proses pembelajaran lebih menekankan pada proses pemberian
stimulus (rangsangan) dan rutinitas respon yang dilakukan oleh siswa. Inti
pembelajaran dalam pandangan behaviorisme terletak pada stimulus respon (S-R).
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini,
diantaranya :
1. Connectionism ( S-R
Bond) menurut Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan
hukum-hukum belajar, diantaranya:
1.Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek
yang memuaskan, maka hubungan Stimulus - Respons akan semakin kuat. Sebaliknya,
semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula
hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
2.Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa
kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaan satuan pengantar (conduction
unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
3.Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan
Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin
berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
2. Classical Conditioning
menurut Ivan Pavlov
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan
hukum-hukum belajar, diantaranya :
1.Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang
dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah
satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan
meningkat.
2.Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut.
Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu
didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan
menurun.
3. Operant Conditioning
menurut B.F. Skinner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya
terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
1.Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi
dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
2.Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant
telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus
penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant
adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan.
Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus,
melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu
sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya
sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan
stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
4. Social Learning
menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning
adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan
teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya,
Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas
stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil
interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip
dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam
belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan
penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang
pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment,
seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang
perlu dilakukan.
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar
behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan
prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory
yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan
(The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The
Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan
dorongan.
B. Teori Belajar Kognitif menurut
Piaget
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor
aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan
sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori
tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan
kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pre
operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational.
Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu
yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa
asisimilasi adalah “the process by which a person takes material into their
mind from the environment, which may mean changing the evidence of their senses
to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind
or concepts by the process of assimilation”
Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan
dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi
kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh
interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru.
Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau
berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal
dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
1.Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena
itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir
anak.
2.Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan
dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan
sebaik-baiknya.
3.Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak
asing.
4.Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5.Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara
dan diskusi dengan teman-temanya.
C. Teori Konstruksivisme
Menurut cara pandang teori konstruksivisme belajar adalah proses untuk
membanguin pengetahuan melalui pengalaman nyata dari lapangan. Artinya siswa
akan cepat memiliki pengetahuan jika pengetahuan itu dibangu atas dasar
realitas yang ada di dalam masyarakat.
Teori konstruksivisme membawa implikasi dalam pembelajaran yang harus
bersifat kolektif atu kelompok. Proses sosial masing-masing siswa harus bias
diwujudkan. C. Asri Budiningsih dalam buku Pembelajaran Moral menyatakan bahwa
keberhasilan belajar sangat ditentukan oleh peran social yang ada dalam diri
siswa. Dalam situasi sosial akan terjadi situasi saling berhubungan, terdapat
tat hubungan, tata tingkah laku dan sikap diantara sesame manusia.
Konsekuensinya, siswa harus memiliki keterampilan untuk menyesuaikan diri
(adaptasi) secara cepat.
Peran guru dalam pembelajaran menurut teori konstruktivisme adalah lebih
sebagai fasilitator atau moderator. Artinya guru bukanlah satu-satunya sumber
belajar yang harus selalu ditiru dan segala ucapan dan tindakannya selalu benar,
sedang murid adalah sosok manusia yang bodoh, segala ucapan dan tindakannya
tidak selalu dapat dipercaya atu salah. Proses pembelajaran seperti ini
cenderung menempatkan siswa sebagai osok manusia yang pasif, statis dan tidak
memiliki kepekaan dalam memahami persoalan.
Posisi siswa dalam pembelajaran menurut falsafah atun teori konstruksivisme
adalah siswa harus aktif, kreatif, dan kritis. Konsekuensi utamanya guru
sebelum memberikan materi pembelajaran harus mengetahui kemampuan awal siswa,
jangan sampai siswa dalam belajar berawal dari pemahaman yang kosong.
Sarana pembelajaran. Segala sarana pembelajaran perangkat keras (hard ware)
maupun perangkat lunak (soft ware) baik yang ada di sekolah maupun diluar
sekolah harus didesain atau dikelola guru guna memperlancar proses
pembelajaran. Karena pembelajaran dalam konteks teori kontruktivisme harus
lebih menekankan penggunaan media sebagai satu-satunya sarana untuk mempercepat
pemahaman terhadap materi.
Evaluasi pembelajaran. Dalam treori kontruktivisme, evaluasi tidak hanya
dimaksudkan untuk mengetahui kualitas siswa dalam memahami materi dari guru.
Evaluasi menjadi saran untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan proses
pembelajaran.
Bentuk-bentyuk evaluasi pembelajaran dapat diwujudkan melalui pemberian
tugas-tugas autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang dapat menggambarkan
proses berfikir yang lebih tinggi sperti tingkat “penemuan” dalam istilah
taksonomi Merril, atau “strategi kognitif” menurut taksonomi Robert Gagne serta
“sintesis” menurut taksonominya BS Bloom.
D. Teori Humanistik
Teori humanistik menjelaskan bahwa proses belajar harus dimulai dan
ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia (proses humanisasi). Oleh
sebab itu teori belajar humanistic sifatnya lebih menekankan bagaimana memahami
persoalan manusia dari berbagai dimensi yang dimiliki, baik dimensi kognitif,
affektif dan psikomotorik. Teori belajar ini lebih menekankan pada
konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta
tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal.
Dalam pelaksanannya teori humanistik tampak juga dalm pendekatan belajar
yang dikemukakan oleh Ausabel. Pandangannya tentang belajar bermakna atau
“Meaningful Learning”. Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat penting
dalam peristiwa belajar sebab tanpa motivasi dan keinginan dari pihak si
belajar, maka tidak akan terjadi asimilasi pengetahuan baru ke dalam sruktur
kognitif yang telah dimilikinya
Teori humanistik berpendapat bahwa teori belajar apapun sarana prasarana
apapun dapat dimanfaatkan asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu
mencapai kesempurnaan hidup bagi manusia dengan indikasi (a) kemampuan kualitas
diri, (b) kualitas pemahaman diri, (c) kemempuan merealisasikan diri dalam
kehidupan yang nyata.
Konsekuensi yang mutlak dimiliki seorang pendidik adalah guru harus mampu
memiliki sifat, karakter dan tanpilan yang berbeda sesuai denagn situasi dan
kondisi yang dihadapi. Selain itu pendidik harus mampu memberikan kebebasan
untuk beraktualisasi, kebebasan untuk berpikir alternative, dan kebebasan untuk
menemukan konsep dan prinsip.
E. Teori Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor
yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif
dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses
penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran
dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi
antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi
internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil
belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi
eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam
proses pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1)
motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali;
(6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik.
F. Teori Belajar Gestalt
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai
“bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau
peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan.
Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :
1. Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu
menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk)
dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan
sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar
bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan
figure.
2. Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan
(baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu
bentuk tertentu.
3. Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan
cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
4. Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang
pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi
suatu figure atau bentuk tertentu.
5. Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang
pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk
keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
6. Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan
suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.
Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:
1. Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan
perilaku “Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk
kontraksi otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah
perilaku dalam keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti
kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar”
lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.
2. Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara
lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah
lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada
sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu
yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu
lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).
3. Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu
bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau
peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius,
virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh
lain, gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
4. Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan
suatu proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses
pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran
terhadap rangsangan yang diterima.
v Pergeseran teori pembelajaran
Pergeseran Dari Koneksionisme ke Kognitifisme
Peralihan para teoritis dalam tradisi koneksioniske ke arah yang lebih
kognitif yaitu mencakup pembahasan mengenai hal-hal yang dipelajari orang dari
orang lain. Pada masa awal teori koneksifionis, orang mengesampingkan
pembelajaran semacam itu dan lebih berfokus pada pembelajaran dengan tindakan.
Banyak stimuli yang mempengaruhi perilaku kita yang berasal dari orang lain dan
salah astu cara kita bisa merespon stimuli ini adalah dengan memodelkan
perilaku kita menurut perilaku orang lain. Menurut Miller dan Dollard, jika
kita mendapatkan penguatan karena mngimitasi orang lain, kita akan terus
mengimitasi mereka, dan jika kita mendapat penguatan karena mengimitsi sebagian
orang namun mendapat penguatan karena melakukan hal yang sebaliknya dari yang
dilakukan orang lain itu, kita akan mempelajari diskriminasi dan mengikuti pola
itu.
Pergeseran koneksionis ke kognitif juga mendapat persoalan dari para
teoritis mengenai stimuli, bagaimana para teoritis koneksionisme hendak
menjelaskan gejala-gejala yang oleh para teoritis kognitif disebut juga sebagai
keyakinan, rencana dan sikap. Dalam semua kasus kita membuat respon (melihat,
membayangkan, memikirkan, atau mengantisipasi) yang menghasilkan stimuli,
eksternal atau internal. Respon-respon yang terutama berlaku sebagai penghasil
stimuli ini dikenal dengan sebagai respon perantara (mediating responses).
Cara merespon situasi dengan jalan keliru yang sistematis disebut dengan
istilah faktor keliru (error factors). Karena ada berbagai
kemungkinan terjadinya error factors ini, subjek yang tidak berpengalaman
cenderung untuk tidak mampu menjelaskan tugas-tugas tersebut dengan baik.
Pola dasar pembelajaran mencontohkan belajar bagaimana caranya belajar.
Terlihat bagaimana kita memposisikan diri untuk mendeteksi masalah dengan jalan
tertentu. Karena mendekati masalah menuntut perhatian terhadap petunjuk
tertentu alih-alih petunjuk lainnya, kekhususan petunjuk melalui peroleha
menjadi salah satu aspek pembentukan pola dasar pembelajaran. Secara umum
pendidikan bisa dipandang sebagai pembentukan pola dasar pembelajaran. Dalam
mengajar murid-murid kita tidak hanya memberikan koneksi stimulus-respon secara
spesifik, melainkan juga memberikan pijakan yang diperlukan agar mereka bisa
belajar secara berkelanjutan setelah meninggalkan sekolah. Fungsi petunjuk (cue)
pada respon-respon perantara amat penting nilainya untuk mempertemukan
perbedaan antara teori koneksionis dan kognitif. Jika respon-respon kita
sendiri bisa menghasilkan petunjuk dan jika dalam hal ini juga termasuk petunjuk
verbal yang kompleks berarti kita tengah melangkah ke arah teori
kognitif-koneksionis.
Gagasan mengenai pengetahuan, keahlian, dan pemahaman, tersusun dalam
hierarki yang secara bertahap berkembang sepanjang hidup. Analisis perkembangan
ini terdengar mirip seperti pemikiran Piaget. Penelitian Piaget mengenai
kognisi anak-anak, Gagne mengenai pendidikan dan pelatihan, dan penerapan
ide-ide melalui komputer, besrta pendekatan-pendekatan terkini lainnya, semua
bertemu dengan dalam gagasan kognitif, karena kalangan koneksionis berasumsi
bahwa kebiasaan-kebiasaan sederhana akan tertata menjadi keahlian yang
kompleks. Namun demikian gagasan tersebut lebih dikaitkan dengan pemikiran
kognitif. Entah bersifat koneksionis, kognitif, atu perpaduan dari keduanya, gagasan
mengenai susunan hierarkhis penting artinya bagi studi mengenai pembelajaran,
pikiran dan perkembangan manusia.
Kesimpulan:
Teori pembelajaran merupakan suatu acuan yang digunakan dalam pembelajaran.
Suatu teori dapat berubah atau berkembang dari masa ke masa apbial terdapat
teori yng lebih kompleks atu lebih baik lagi untuk digunakan. Teori yang ideal
yaitu apabila teori tersebut memiliki berbagai postulat dan teorema dan terkonstruksi
sedemikian rupa sehingga bisa diubah untuk menangani bukti baru ketika teorema
tertentu gagal dikukuhkan oleh eksperimen. Selain kombinasi keluasan dan
akurasi teori tersebut juga harus berguna dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan praktis.. Teori yang layak digunakan
memilik arti penting dalam pembelajaran. Dua arti penting teori pembelajaran,
yaitu: Pertama, teori
pembelajaran menyediakan kosa kata dan kerangka konseptual yang bisa kita
gunakan untuk menginterpretasi contoh-contoh pembelajaran yang kita amati. Hal
ini penting artinya bagi siapa saja yang hendak mengamati dunia secara seksama.
Kedua, masih terkait dengan yang pertama, teori pembelajaran menuntun kita
kemana harus mencari solusi atas persoalan-persoalan praktis. Teori memang
tidak memberikan kita solusi, namun teori mengarahkan perhatian kita kepada
variable-variabel yang bermanfaat untuk menemukan solusi. Macam-macam teori pembelajaran yang digunakan, antara lain: teori
behaviorisme, teori kognitif Piaget, teori kontruktifisme, teori humanistik,
teori pemrosesan informasi dari Robert Gagne, dan teori belajar Gestal.
No comments:
Post a Comment