PEMBELAJARAN MENURUT KONSTRUKTIVISME
RINGKASAN
Kontruktivisme
merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan
hasil konstruksi kita sendiri. Sebagai landasan paradigma pembelajaran,
konstruktivisme menyerukan perlunya partisipasi aktif siswa dalam proses
pembelajaran, perlunya pengembangan siswa belajar mandiri, dan perlunya siswa
memiliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri.
Bagi aliran
konstruktivisme, guru lebih diposisikan sebagai fasiltator yang memfasilitasi
siswa untuk dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri (Hudojo,
1998:5-6). Aliran ini lebih menekankan bagaimana siswa belajar bukan bagaimana
guru mengajar. Artinya, pembelajaran berpusatkan pada siswa (student centered instruction).
Tujuan
konstruktivisme dalam pembelajaran tiada lain ialah adanya motivasi untuk siswa
bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri, mengembangkan kemampuan
siswa untuk mengajukan pertanyaan, membantu siswa untuk mengembangkan
pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap, dan mengembangkan kemampuan
siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah aspek universal
yang selalu dan harus ada dalam kehidupan manusia. Tanpa ada pendidikan,
kehidupan manusia tentu akan mengarah kepada kehidupan statis, tanpa kemajuan,
bahkan bisa jadi akan mengalami kemunduran dan kepunahan. Karena itu, menjadi
fakta yang tidak terbantahkan bahwa pendidikan adalah sesuatu yang niscaya
dalam kehidupan manusia.
Seiring berjalannya waktu dan
semakin pesatnya tingkat intelektualitas serta kualitas kehidupan, maka
pendidikan pun menjadi lebih kompleks. Oleh karena itu, tentu saja hal ini
membutuhkan sebuah desain pendidikan yang tepat dan sesuai dengan kondisinya.
Sehingga berbagai teori, metode dan desain pembelajaran serta pengajaran pun
dibuat dan diciptakan untuk mengapresiasikan semakin beragamnya tingkat
kebutuhan dan kerumitan permasalahan pendidikan. Jadi memang itulah yang
menjadi esensi pendidikan itu sendiri, yakni bagaimana menciptakan sebuah
kehidupan lebih baik yang tercipta dari proses pendidikan yang kontekstual dan
mampu menyerap aspirasi zaman dengan tepat dan sesuai.
Guru di dalam melaksanakan
pembelajaran, juga harus bisa memilih maupun menetapkan suatu pendekatan
pembelajaran yang tepat di kelas sehingga hasil pembelajaran lebih optimal,
selayaknya seseorang dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari yang harus mampu
menetapkan sasaran yang hendak dicapai. Guru pun demikian, harus bisa
menetapkan pendekatan pembelajaran yang tepat.
Masing
– masing individu akan memilih cara dan gayanya sendiri untuk belajar dan
mengajar, namun setidak-tidaknya ada karakteristik tertentu dalam pendekatan
pembelajaran tertentu yang khas dibandingkan dengan pendekatan lain. Salah satu contoh pendekatan pembelajaran adalah pendekatan
konstruktivisme. Martin. Et. Al (dalam Gerson Ratumanan, 2002) mengemukakan
bahwa konstruktivisme menekankan pentingnya setiap siswa aktif
mengkonstruksikan pengetahuan melalui hubungan saling mempengaruhi dari belajar
sebelumnya dengan belajar baru. Hubungan tersebut dikonstruksikan oleh siswa
untuk kepentingan mereka sendiri. Elemen kuncinya adalah bahwa orang belajar
secara aktif mengkonstruksikan pengetahuan mereka sendiri, membandingkan
informasi baru dengan pemahaman sebelumnya dan menggunakannya untuk
menghasilkan pemahaman baru. Untuk itu, setiap pelajaran di sekolah perlu
diarahkan untuk selalu mendidik siswa agar mengkonstruksikan pengetahuannya.
Berdasarkan uraian diatas, melalui makalah ini
penulis merumuskan masalah mengenai apa yang dimaksud dengan konstruktivisme
dan bagaimana pembelajaran menurut
konstruktivisme. Hal
tersebut sangat perlu dibahas karena bertujuan agar kita mengetahui apa yang dimaksud dengan
konstruktivisme dan bagaimana pembelajaran menurut konstruktivisme. Dengan
pemahaman yang cukup mengenai hal tersebut diatas, maka setiap individu akan
mendapatkan hasil pembelajaran yang optimal.
PEMBAHASAN
A.
Konstruktivisme
Konsrutivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme. Konstruktiv berarti bersifat membina,
memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme
dalam kamus Bahasa Inonesia berarti paham atau aliran. Konstruktivisme
merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita
merupakan hasil konstruksi kita sendiri (von Glaserfeld dalam Pannen dkk,
2001:3). Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran mengatakan bahwa anak-anak
diberi kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalam belajar secara
sadar, sedangkan guru yang membimbing siswa ke
tingkat pengetahuan yang lebih tinggi (Slavin dalam Yusuf, 2003). Tran Vui juga
mengatakan bahwa teori konstruktivisme adalah
sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau
mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau
kebutuhannya tersebut dengan bantuan fasilitasi orang lain. Sedangkan menurut Martin. Et. Al (dalam Gerson Ratumanan, 2002)
mengemukakan bahwa konstruktivisme menekankan pentingnya setiap siswa aktif
mengkonstruksikan pengetahuan melalui hubungan saling mempengaruhi dari belajar
sebelumnya dengan belajar baru. Selanjutnya, Wikipedia (2008:1) menurunkan definisi ialah: “constructivism may be considered an epistemology
( a philosophical framework or theory of learning ) which argues humans
construct meaning from current knowledge structures” artinya, konstruktivisme
dapat dipandang sebagai suatu epistimologi (kerangka filosofis atau teori
belajar) yang mengkaji manusia dalam membangun makna dari struktur pengetahuan
terkini.
Jadi dapat disimpulkan bahwa sebagai
landasan paradigma pembelajaran, konstruktivisme menyerukan perlunya
partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran, perlunya pengembangan siswa
belajar mandiri, dan perlunya siswa memiliki kemampuan untuk mengembangkan
pengetahuannya sendiri.
Dalam hal tahap-tahap pembelajaran, pendekatan
konstruktivisme lebih menekankan pada pembelajaran top-down processing, yaitu siswa belajar dimulai dari masalah yang
kompleks untuk dipecahkan (dengan bantuan guru), kemudian menghasilkan atau
menemukan keterampilan-keterampilan dasar yang dibutuhkan (Slavin.1997).
Misalnya, ketika siswa diminta untuk menulis kalimat-kalimat, kemudian dia akan
belajar untuk membaca, belajar tentang tata bahasa kalimat-kalimat tersebut,
dan kemudian bagaimana menulis titik dan komanya.
Bagi aliran konstruktivisme, guru tidak lagi menduduki
tempat sebagai pemberi ilmu. Tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar.
Namun guru lebih diposisikan sebagai fasilitator yang memfasilitasi siswa untuk
dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri (Hudojo, 1998:5-6). Aliran
ini lebih menekankan bagaimana siswa belajar bukan bagaimana guru mengajar.
Sebagai fasilitator guru bertanggung jawab terhadap
kegiatan pembelajaran di kelas. Diantara tanggung jawab guru dalam pembelajaran
adalah menstimulasi dan memotivasi siswa. Mendiagnosis dan mengatasi kesulitan
siswa serta menyediakan pengalaman untuk menumbuhkan pemahaman siswa (Suherman dkk,
2001:76). Oleh karena itu, guru harus menyediakan dan memberikan kesempatan
sebanyak mungkin kepada siswa untuk belajar secara aktif. Sedemikian rupa
sehingga para siswa dapat menciptakan, membangun, mendiskusikan, membandingkan,
bekerja sama, dan melakukan eksperimentasi dalam kegiatan belajarnya
(Setyosari, 1997: 53). Berdasarkan konstruktivisme, akibatnya orientasi
pembelajaran bergeser dari berpusat pada guru mengajar ke pembelajaran berpusat
pada siswa (student centered
instruction).
B.
Prinsip-Prinsip Konstruktivisme
Secara
garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme yang diterapkan dalam proses
belajar mengajar adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan dibangun oleh siswa
sendiri.
2. Pengetahuan tidak dapat
dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri
untuk menalar.
3. Murid aktif megkonstruksi secara
terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.
4. Guru sekedar membantu menyediakan
saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
5. Struktur pembelajaran seputar
konsep diutamakan pada pentingnya sebuah pertanyaan.
6. Mencari dan menilai pendapat
siswa.
7. Menyesuaikan bahan pengajaran
untuk menanggapi anggapan siswa.
Dari
semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh
hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun
pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini
dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan
sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dengan mengajak siswa agar menyadari
dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar.
C.
Implikasi Konstruktivisme pada
Pembelajaran
Terdapat
beberapa implikasi penting konstruktivisme terhadap pembelajaran.
Implikasi-implikasi yang dimaksud adalah:
1. Pembelajaran tidak dapat
dipandang sebagai suatu transmisi pengetahuan. Penyajian pengetahuan jadi (ready made) tidak mendapat penekanan.
Dalam kelas konstruktivis, pembelajaran diarahkan untuk menciptakan kondisi
yang memungkinkan siswa mengkonstruksi pengetahuan dan memperluas pengetahuan
mereka. Inisiatif dan keterlibatan aktif siswa dalam pembelajaran merupakan hal
yang utama.
2. Perhatian tidak diarahkan hanya
pada hasil belajar, tetapi juga dipusatkan pada proses berpikir atau proses
mental siswa. Disamping kebenaran jawaban siswa, guru juga perlu memperhatikan
proses yang digunakan siswa hingga memperoleh jawaban tersebut.
3. Perlu adanya scaffolding (dukungan atau bantuan) pada siswa yang mengalami
kesulitan dalam mengkonstruksi pengetahuan atau dalam pemecahan masalah.
Bantuan ini selain akan memotivasi siswa dalam belajar dan meningkatkan
kemandirian siswa, juga akan mengembangkan ZPD (Zon Perkembangan Prokimal) siswa.
4. Perlu disadari akan pentingnya
konteks sosial dalam pembelajaran.
Pembelajaran seharusnya melibatkan negosiasi sosial dan mediasi
(Doolittle & Camp.1999). Pedagogis lebih ditekankan pada diskusi,
kolaborasi, negosiasi dan makna bersama (Ernest.1991).
5. Perlu diciptakan situasi
pembelajaran yang merangsang keingintahuan siswa, sekaligus merangsang siswa
untuk dapat mengkomunikasikan ide-ide mereka.
6. Jika siswa harus mengaplikasikan
pemahaman mereka saat ini dalam situasi baru ke bentuk pengetahuan baru, guru
harus sungguh-sungguh melibatkan siswa dalam pembelajaran (Rakes.,et.al,1999).
D.
Ciri-Ciri Pembelajaran Menurut
Konstruktivisme
Adapun ciri – ciri pembelajaran
menurut konstruktivisme adalah sebagai
berikut:
1. Pembelajaran
berpusat pada siswa.
2. Fokus
kepada pembelajaran bukan pengajaran.
3. Guru
sebagai fasilitator (Paul
Suparno:1997).
4. Bahan pengajaran dirancang
sedemikian rupa sehingga memberi peluang kepada murid membina pengetahuan baru.
5. Menyokong pembelajaran secara
koperatif, yaitu suatu kumpulan strategi mengajar yang digunakan siswa untuk
membantu satu dengan yang lain dalam mempelajari sesuatu.
6. Menggalakkan murid bertanya dan
berdialog dengan sesama murid & guru.
7. Pendidik memahami karakteristik
mental para siswa untuk mengenal penalaran yang dikembangkan untuk
mendukung proses pembelajaran.
8. Menggalakkan dan menerima daya
usaha para siswa dalam mengembangkan pengetahuannya.
9. Menggalakkan ide yang dikemukakan
oleh siswa dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.
E.
Peranan Peserta Didik dan Pendidik
dalam Pembelajaran menurut Konstruktivisme
No.
|
Peranan
Peserta Didik
|
Peranan Pendidik
|
1.
|
Berinisiatif mengemukakan
masalah dan pokok pikiran, kemudian menganalisis dan menjawabannya sendiri.
|
Mengutamakan peran siswa dalam
berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar.
|
2.
|
Bertanggung jawab sendiri
terhadap kegiatan belajarnya atau penyelesaian suatu masalah.
|
Memusatkan perhatian kepada
proses berpikir atau proses mental siswa, bukan kepada kebenaran jawaban
siswa saja.
|
3.
|
Secara aktif bersama dengan
teman sekelasnya mendiskusikan penyelesaian masalah atau pokok pikiran yang
mereka munculkan, dan apabila dirasa perlu dapat menanyakannya kepada guru.
|
Guru perlu fleksibel dalam
merespons jawaban atau pemikiran siswa. Menghargai pemikiran siswa dan
meghindari perkataan “Ini satu-satunya
jawaban benar”
|
4.
|
Atas inisiatif sendiri dan
mandiri berupaya memperoleh pemahaman yang mendalam (deep understanding)
terhadap suatu topik masalah belajar.
|
Guru perlu menyediakan
pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa
sehingga belajar sebagai proses konstruksi pengetahuan dapat terwujud.
|
5.
|
Secara aktif mengajukan dan
menggunakan berbagai hipotesis (kemungkinan jawaban) dalam memecahkan suatu
masalah.
|
Memaklumi akan adanya perbedaan
individual, termasuk dalam hal perkembangan kognitif siswa.
|
6.
|
Secara aktif mengajukan
berbagai data atau informasi pendukung dalam penyelesaian suatu masalah atau
pokok pikiran yang dimunculkan sendiri atau yang telah dimunculkan oleh teman
sekelas.
|
Guru perlu menyampaikan tujuan
pembelajaran dan apa yang akan dipelajari di awal kegiatan belajar. Hal ini
akan mempengaruhi keaktifan siswa, karena ia tahu apa yang akan di pelajari
dan untuk apa ia terlibat dalam pembelajaran.
|
7.
|
Secara kreatif dan imajinatif mengaitkan
antara gagasan yang telah dimiliki dengan informasi baru yang diterima.
|
Guru perlu banyak berinteraksi
dengan siswa untuk dapat mengetahui apa yang telah mereka ketahui dan apa
yang mereka pikirkan.
|
F.
Keunggulan dan Kelemahan Teori
Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Keunggulan:
1. Berpikir
Dalam proses membina pengetahuan
baru, murid berpikir menyelesaikan masalah, mengemukakan dan membuat kesimpulan
dengan bahasa sendiri.
2. Paham
Oleh karena murid terlibat secara
langsung dalam membina pengetahuan baru, mereka akan lebih paham dan mampu
mengaplikasikannya.
3. Ingat
Oleh karena murid terlibat secara
langsung dengan aktif, mereka akan mengingat lebih lama mengenai semua konsep.
4. Yakin
Melalui pendekatan ini murid
membina sendiri pemahaman mereka dengan strategi belajar sendiri. Oleh karena itu,
mereka menjadi lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi
baru.
5. Interaktif dan Senang
Lebih banyak berinteraksi dan
saling bertukar gagasan dengan teman dan guru dalam proses pembelajaran untuk
mendapatkan pengetahuan baru. Oleh karena mereka paham, ingat, yakin, dan
berinteraksi dengan sehat, maka timbul rasa senang belajar untuk memperoleh
pengetahuan baru.
Kelemahan:
- Pemahaman para siswa terhadap materi cenderung kurang merata.
- Memerlukan persiapan yang lebih matang dari pendidik dan peserta didik agar pembelajaran berjalan dengan lancar.
- Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan sehingga menyebabkan miskonsepsi.
- Konstruktivisme menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda.
- Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreatifitas siswa.
G.
Kendala dalam Penerapan
Pembelajaran menurut Konstruktivisme
Konstruktivisme
memberikan angin segar bagi perbaikan proses dan hasil belajar. Walaupun
demikian, terdapat pula kendala yang muncul dalam penerapan pembelajaran menurut
konstruktivisme di kelas. Kendala-kendala yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1)
Sulit mengubah keyakinan dan
kebiasaan guru. Guru selama ini telah terbiasa mengajar dengan
menggunakan pendekatan tradisional, mengubah kebiasaan ini merupakan suatu hal
yang tidak mudah.
2)
Guru kurang tertarik dan
mengalami kesulitan mengelola kegiatan pembelajaran berbasis konstruktivisme. Guru
konstruktivis dituntut untuk lebih kreatif dalam merencanakan kegiatan
pembelajaran dan dalam memilih menggunakan media yang sesuai.
3)
Adanya anggapan guru bahwa
penggunaan metode atau pendekatan baru dalam pembelajaran akan menggunakan
waktu yang cukup besar. Guru khawatir target pencapaian kurikulum (TPK)
tidak tercapai.
4)
Sistem evaluasi yang masih
menekankan pada nilai akhir. Padahal yang terpenting dari suatu pembelajaran
adalah proses belajarnya bukan hasil akhirnya.
5)
Besarnya beban mengajar guru,
latar pendidikan guru tidak sesuai dengan mata pelajaran yang diasuh, dan
banyaknya pelajaran yang harus dipelajari siswa merupakan yang cukup serius.
6)
Siswa terbiasa menunggu
informasi dari guru. Siswa akan belajar jika ada transfer pengetahuan
dan tugas-tugas dari gurunya. Mengubah sikap “menunggu informasi” menjadi
“pencari dan pengkonstruksi informasi” merupakan kendala itu sendiri.
7)
Adanya budaya negatif di
lingkungan siswa. Salah satu contohnya di lingkungan rumah. Pendapat
orang tua selalu dianggap paling benar, ank dilarang membantah pendapat orang
tuanya. Kondisi ini juga terbawa ke sekolah. Siswa terkondisi untuk “mengiakan”
pendapat atau penjelasan guru. Siswa tidak berani mengemukakan pendapatnya yang
mungkin berbeda dengan gurunya.
PENUTUP
Kesimpulan
Konstruktivisme menyerukan perlunya
partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran, perlunya pengembangan siswa
belajar mandiri, dan perlunya siswa memiliki kemampuan untuk mengembangkan
pengetahuannya sendiri. Dalam hal ini, pembelajaran berpusatkan pada siswa (student centered instruction).
Bagi aliran konstruktivisme, guru
tidak lagi menduduki tempat sebagai pemberi ilmu. Tidak lagi sebagai
satu-satunya sumber belajar. Namun guru lebih diposisikan sebagai fasiltator
yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya
sendiri (Hudojo, 1998:5-6). Aliran ini lebih menekankan bagaimana siswa belajar
bukan bagaimana guru mengajar.
Keunggulan pendekatan konstruktivisme adalah dalam proses
membina pengetahuan baru murid lebih berpikir untuk menyelesaikan
masalah, merencanakan ide, dan membuat kesimpulan, lebih paham dan mampu mengaplikasikannya, mampu mengingat lebih lama semua konsep, lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah
dalam situasi baru, lebih interaktif karena adanya interaksi dengan rekan dan guru dalam membina pengetahuan baru,
merasa senang karena mereka paham, ingat, yakin dan
berinteraksi dengan sehat.
Kelemahannya
adalah pemahaman
para siswa terhadap materi cenderung kurang merata, perlu persiapan yang lebih
matang dari pendidik dan peserta didik, tidak jarang hasil konstruksi
siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi yang
sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan sehingga menyebabkan miskonsepsi, dalam membangun
pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap
siswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda, situasi
dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki sarana
prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreatifitas siswa.
Kemudian
kendala-kendala penerapan pendekatan ini adalah peran guru sebagai pendidik itu
sepertinya kurang begitu mendukung,
ini juga disebabkan karena sulit mengubah keyakinan dan
kebiasaan guru, guru kurang tertarik dan mengalami kesulitan mengelola kegiatan
pembelajaran berbasis konstruktivisme, adanya anggapan guru bahwa penggunaan
metode atau pendekatan baru dalam pembelajaran akan menggunakan waktu yang
cukup besar, besarnya beban mengajar guru, latar pendidikan guru tidak sesuai
dengan mata pelajaran yang diasuh, sistem evaluasi yang masih menekankan pada
nilai akhir, pembelajaran ini mengisyaratkan perubahan sistem evaluasi yang
belum diterapkan oleh guru, siswa terbiasa menunggu informasi dari guru, dan
adanya budaya negatif di lingkungan siswa.
Saran
Saran
yang dapat penulis berikan pada penulisan makalah ini adalah sebaiknya
sistem pembelajaran yang diterapkan mengacu pada pendekatan konstruktivisme
karena dari karakteristik pembelajarannya yang dapat memberikan sumbangan besar
dalam membentuk manusia yang kreatif, produktif, dan mandiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Gerson.R.Tanwey 2002.Belajar dan Pembelajaran.Ambon: FKIP
Universitas Pattimura Ambon
Trianto.2007.Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta:
Prestasi Pustaka
No comments:
Post a Comment