Monday, April 9, 2012

PEMBELAJARAN MENURUT KONSTRUKTIVISME


 PEMBELAJARAN MENURUT KONSTRUKTIVISME


RINGKASAN
Kontruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri. Sebagai landasan paradigma pembelajaran, konstruktivisme menyerukan perlunya partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran, perlunya pengembangan siswa belajar mandiri, dan perlunya siswa memiliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri.
Bagi aliran konstruktivisme, guru lebih diposisikan sebagai fasiltator yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri (Hudojo, 1998:5-6). Aliran ini lebih menekankan bagaimana siswa belajar bukan bagaimana guru mengajar. Artinya, pembelajaran berpusatkan pada siswa (student centered instruction).
Tujuan konstruktivisme dalam pembelajaran tiada lain ialah adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri, mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan, membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap, dan mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.

PENDAHULUAN
Pendidikan adalah aspek universal yang selalu dan harus ada dalam kehidupan manusia. Tanpa ada pendidikan, kehidupan manusia tentu akan mengarah kepada kehidupan statis, tanpa kemajuan, bahkan bisa jadi akan mengalami kemunduran dan kepunahan. Karena itu, menjadi fakta yang tidak terbantahkan bahwa pendidikan adalah sesuatu yang niscaya dalam kehidupan manusia.

Seiring berjalannya waktu dan semakin pesatnya tingkat intelektualitas serta kualitas kehidupan, maka pendidikan pun menjadi lebih kompleks. Oleh karena itu, tentu saja hal ini membutuhkan sebuah desain pendidikan yang tepat dan sesuai dengan kondisinya. Sehingga berbagai teori, metode dan desain pembelajaran serta pengajaran pun dibuat dan diciptakan untuk mengapresiasikan semakin beragamnya tingkat kebutuhan dan kerumitan permasalahan pendidikan. Jadi memang itulah yang menjadi esensi pendidikan itu sendiri, yakni bagaimana menciptakan sebuah kehidupan lebih baik yang tercipta dari proses pendidikan yang kontekstual dan mampu menyerap aspirasi zaman dengan tepat dan sesuai.
Guru di dalam melaksanakan pembelajaran, juga harus bisa memilih maupun menetapkan suatu pendekatan pembelajaran yang tepat di kelas sehingga hasil pembelajaran lebih optimal, selayaknya seseorang dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari yang harus mampu menetapkan sasaran yang hendak dicapai. Guru pun demikian, harus bisa menetapkan pendekatan pembelajaran yang tepat.
Masing – masing individu akan memilih cara dan gayanya sendiri untuk belajar dan mengajar, namun setidak-tidaknya ada karakteristik tertentu dalam pendekatan pembelajaran tertentu yang khas dibandingkan dengan pendekatan lain. Salah satu contoh pendekatan pembelajaran adalah pendekatan konstruktivisme. Martin. Et. Al (dalam Gerson Ratumanan, 2002) mengemukakan bahwa konstruktivisme menekankan pentingnya setiap siswa aktif mengkonstruksikan pengetahuan melalui hubungan saling mempengaruhi dari belajar sebelumnya dengan belajar baru. Hubungan tersebut dikonstruksikan oleh siswa untuk kepentingan mereka sendiri. Elemen kuncinya adalah bahwa orang belajar secara aktif mengkonstruksikan pengetahuan mereka sendiri, membandingkan informasi baru dengan pemahaman sebelumnya dan menggunakannya untuk menghasilkan pemahaman baru. Untuk itu, setiap pelajaran di sekolah perlu diarahkan untuk selalu mendidik siswa agar mengkonstruksikan pengetahuannya.
 Berdasarkan uraian diatas, melalui makalah ini penulis merumuskan masalah mengenai apa yang dimaksud dengan konstruktivisme dan bagaimana pembelajaran menurut konstruktivisme. Hal tersebut sangat perlu dibahas karena bertujuan agar kita mengetahui apa yang dimaksud dengan konstruktivisme dan bagaimana pembelajaran menurut konstruktivisme. Dengan pemahaman yang cukup mengenai hal tersebut diatas, maka setiap individu akan mendapatkan hasil pembelajaran yang optimal.

PEMBAHASAN
A.    Konstruktivisme
Konsrutivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme. Konstruktiv berarti bersifat membina, memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme dalam kamus Bahasa Inonesia berarti paham atau aliran. Konstruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri (von Glaserfeld dalam Pannen dkk, 2001:3). Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran mengatakan bahwa anak-anak diberi kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalam belajar secara sadar, sedangkan  guru yang membimbing siswa ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi (Slavin dalam Yusuf, 2003). Tran Vui juga mengatakan bahwa teori konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut dengan bantuan fasilitasi orang lain. Sedangkan menurut Martin. Et. Al (dalam Gerson Ratumanan, 2002) mengemukakan bahwa konstruktivisme menekankan pentingnya setiap siswa aktif mengkonstruksikan pengetahuan melalui hubungan saling mempengaruhi dari belajar sebelumnya dengan belajar baru. Selanjutnya, Wikipedia (2008:1) menurunkan definisi ialah: “constructivism may be considered an epistemology ( a philosophical framework or theory of learning ) which argues humans construct meaning from current knowledge structures” artinya, konstruktivisme dapat dipandang sebagai suatu epistimologi (kerangka filosofis atau teori belajar) yang mengkaji manusia dalam membangun makna dari struktur pengetahuan terkini.
Jadi dapat disimpulkan bahwa sebagai landasan paradigma pembelajaran, konstruktivisme menyerukan perlunya partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran, perlunya pengembangan siswa belajar mandiri, dan perlunya siswa memiliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri.
Dalam hal tahap-tahap pembelajaran, pendekatan konstruktivisme lebih menekankan pada pembelajaran top-down processing, yaitu siswa belajar dimulai dari masalah yang kompleks untuk dipecahkan (dengan bantuan guru), kemudian menghasilkan atau menemukan keterampilan-keterampilan dasar yang dibutuhkan (Slavin.1997). Misalnya, ketika siswa diminta untuk menulis kalimat-kalimat, kemudian dia akan belajar untuk membaca, belajar tentang tata bahasa kalimat-kalimat tersebut, dan kemudian bagaimana menulis titik dan komanya.
Bagi aliran konstruktivisme, guru tidak lagi menduduki tempat sebagai pemberi ilmu. Tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Namun guru lebih diposisikan sebagai fasilitator yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri (Hudojo, 1998:5-6). Aliran ini lebih menekankan bagaimana siswa belajar bukan bagaimana guru mengajar.
Sebagai fasilitator guru bertanggung jawab terhadap kegiatan pembelajaran di kelas. Diantara tanggung jawab guru dalam pembelajaran adalah menstimulasi dan memotivasi siswa. Mendiagnosis dan mengatasi kesulitan siswa serta menyediakan pengalaman untuk menumbuhkan pemahaman siswa (Suherman dkk, 2001:76). Oleh karena itu, guru harus menyediakan dan memberikan kesempatan sebanyak mungkin kepada siswa untuk belajar secara aktif. Sedemikian rupa sehingga para siswa dapat menciptakan, membangun, mendiskusikan, membandingkan, bekerja sama, dan melakukan eksperimentasi dalam kegiatan belajarnya (Setyosari, 1997: 53). Berdasarkan konstruktivisme, akibatnya orientasi pembelajaran bergeser dari berpusat pada guru mengajar ke pembelajaran berpusat pada siswa (student centered instruction).



B.     Prinsip-Prinsip Konstruktivisme
Secara garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme yang diterapkan dalam proses belajar mengajar adalah sebagai berikut:
1.      Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.
2.      Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar.
3.      Murid aktif megkonstruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.
4.      Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
5.      Struktur pembelajaran seputar konsep diutamakan pada pentingnya sebuah pertanyaan.
6.      Mencari dan menilai pendapat siswa.
7.      Menyesuaikan bahan pengajaran untuk menanggapi anggapan siswa.
Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar.

C.    Implikasi Konstruktivisme pada Pembelajaran
Terdapat beberapa implikasi penting konstruktivisme terhadap pembelajaran. Implikasi-implikasi yang dimaksud adalah:
1.      Pembelajaran tidak dapat dipandang sebagai suatu transmisi pengetahuan. Penyajian pengetahuan jadi (ready made) tidak mendapat penekanan. Dalam kelas konstruktivis, pembelajaran diarahkan untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa mengkonstruksi pengetahuan dan memperluas pengetahuan mereka. Inisiatif dan keterlibatan aktif siswa dalam pembelajaran merupakan hal yang utama.
2.      Perhatian tidak diarahkan hanya pada hasil belajar, tetapi juga dipusatkan pada proses berpikir atau proses mental siswa. Disamping kebenaran jawaban siswa, guru juga perlu memperhatikan proses yang digunakan siswa hingga memperoleh jawaban tersebut.
3.      Perlu adanya scaffolding (dukungan atau bantuan) pada siswa yang mengalami kesulitan dalam mengkonstruksi pengetahuan atau dalam pemecahan masalah. Bantuan ini selain akan memotivasi siswa dalam belajar dan meningkatkan kemandirian siswa, juga akan mengembangkan ZPD (Zon Perkembangan Prokimal) siswa.
4.      Perlu disadari akan pentingnya konteks sosial dalam pembelajaran.  Pembelajaran seharusnya melibatkan negosiasi sosial dan mediasi (Doolittle & Camp.1999). Pedagogis lebih ditekankan pada diskusi, kolaborasi, negosiasi dan makna bersama (Ernest.1991).
5.      Perlu diciptakan situasi pembelajaran yang merangsang keingintahuan siswa, sekaligus merangsang siswa untuk dapat mengkomunikasikan ide-ide mereka.
6.      Jika siswa harus mengaplikasikan pemahaman mereka saat ini dalam situasi baru ke bentuk pengetahuan baru, guru harus sungguh-sungguh melibatkan siswa dalam pembelajaran (Rakes.,et.al,1999).

D.    Ciri-Ciri Pembelajaran Menurut Konstruktivisme
Adapun ciri – ciri pembelajaran menurut konstruktivisme adalah sebagai berikut:
1.      Pembelajaran berpusat pada siswa.   
2.      Fokus kepada pembelajaran bukan pengajaran.
3.      Guru sebagai fasilitator (Paul Suparno:1997).
4.      Bahan pengajaran dirancang sedemikian rupa sehingga memberi peluang kepada murid membina pengetahuan baru.
5.      Menyokong pembelajaran secara koperatif, yaitu suatu kumpulan strategi mengajar yang digunakan siswa untuk membantu satu dengan yang lain dalam mempelajari sesuatu.
6.      Menggalakkan murid bertanya dan berdialog dengan sesama murid & guru.
7.      Pendidik memahami karakteristik mental  para siswa untuk mengenal penalaran yang dikembangkan untuk mendukung proses pembelajaran.
8.      Menggalakkan dan menerima daya usaha para siswa dalam mengembangkan pengetahuannya.
9.      Menggalakkan ide yang dikemukakan oleh siswa dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.

E.     Peranan Peserta Didik dan Pendidik dalam Pembelajaran menurut Konstruktivisme
No.
Peranan Peserta Didik
Peranan Pendidik
1.
Berinisiatif mengemukakan masalah dan pokok pikiran, kemudian menganalisis dan menjawabannya sendiri.
Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar.
2.
Bertanggung jawab sendiri terhadap kegiatan belajarnya atau penyelesaian suatu masalah.
Memusatkan perhatian kepada proses berpikir atau proses mental siswa, bukan kepada kebenaran jawaban siswa saja.
3.
Secara aktif bersama dengan teman sekelasnya mendiskusikan penyelesaian masalah atau pokok pikiran yang mereka munculkan, dan apabila dirasa perlu dapat menanyakannya kepada guru.
Guru perlu fleksibel dalam merespons jawaban atau pemikiran siswa. Menghargai pemikiran siswa dan meghindari perkataan “Ini satu-satunya jawaban benar”
4.
Atas inisiatif sendiri dan mandiri berupaya memperoleh pemahaman yang mendalam (deep understanding) terhadap suatu topik masalah belajar.
Guru perlu menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sehingga belajar sebagai proses konstruksi pengetahuan dapat terwujud.
5.
Secara aktif mengajukan dan menggunakan berbagai hipotesis (kemungkinan jawaban) dalam memecahkan suatu masalah.
Memaklumi akan adanya perbedaan individual, termasuk dalam hal perkembangan kognitif siswa.
6.
Secara aktif mengajukan berbagai data atau informasi pendukung dalam penyelesaian suatu masalah atau pokok pikiran yang dimunculkan sendiri atau yang telah dimunculkan oleh teman sekelas.
Guru perlu menyampaikan tujuan pembelajaran dan apa yang akan dipelajari di awal kegiatan belajar. Hal ini akan mempengaruhi keaktifan siswa, karena ia tahu apa yang akan di pelajari dan untuk apa ia terlibat dalam pembelajaran.
7.
Secara kreatif dan imajinatif mengaitkan antara gagasan yang telah dimiliki dengan informasi baru yang diterima.
Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk dapat mengetahui apa yang telah mereka ketahui dan apa yang mereka pikirkan.

F.     Keunggulan dan Kelemahan Teori Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Keunggulan:
1.      Berpikir
Dalam proses membina pengetahuan baru, murid berpikir menyelesaikan masalah, mengemukakan dan membuat kesimpulan dengan bahasa sendiri.
2.      Paham
Oleh karena murid terlibat secara langsung dalam membina pengetahuan baru, mereka akan lebih paham dan mampu mengaplikasikannya.
3.      Ingat
Oleh karena murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan mengingat lebih lama mengenai semua konsep.
4.      Yakin
Melalui pendekatan ini murid membina sendiri pemahaman mereka dengan strategi belajar sendiri. Oleh karena itu, mereka menjadi lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
5.      Interaktif dan Senang
Lebih banyak berinteraksi dan saling bertukar gagasan dengan teman dan guru dalam proses pembelajaran untuk mendapatkan pengetahuan baru. Oleh karena mereka paham, ingat, yakin, dan berinteraksi dengan sehat, maka timbul rasa senang belajar untuk memperoleh pengetahuan baru.



Kelemahan:
  1. Pemahaman para siswa terhadap materi cenderung kurang merata.
  2. Memerlukan persiapan yang lebih matang dari pendidik dan peserta didik agar pembelajaran berjalan dengan lancar.
  3. Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan sehingga menyebabkan miskonsepsi.
  4. Konstruktivisme menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda.
  5. Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreatifitas siswa.
 
G.    Kendala dalam Penerapan Pembelajaran menurut Konstruktivisme
Konstruktivisme memberikan angin segar bagi perbaikan proses dan hasil belajar. Walaupun demikian, terdapat pula kendala yang muncul dalam penerapan pembelajaran menurut konstruktivisme di kelas. Kendala-kendala yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1)         Sulit mengubah keyakinan dan kebiasaan guru. Guru selama ini telah terbiasa mengajar dengan menggunakan pendekatan tradisional, mengubah kebiasaan ini merupakan suatu hal yang tidak mudah.
2)      Guru kurang tertarik dan mengalami kesulitan mengelola kegiatan pembelajaran berbasis konstruktivisme. Guru konstruktivis dituntut untuk lebih kreatif dalam merencanakan kegiatan pembelajaran dan dalam memilih menggunakan media yang sesuai.
3)      Adanya anggapan guru bahwa penggunaan metode atau pendekatan baru dalam pembelajaran akan menggunakan waktu yang cukup besar. Guru khawatir target pencapaian kurikulum (TPK) tidak tercapai.
4)      Sistem evaluasi yang masih menekankan pada nilai akhir. Padahal yang terpenting dari suatu pembelajaran adalah proses belajarnya bukan hasil akhirnya.
5)      Besarnya beban mengajar guru, latar pendidikan guru tidak sesuai dengan mata pelajaran yang diasuh, dan banyaknya pelajaran yang harus dipelajari siswa merupakan yang cukup serius.
6)      Siswa terbiasa menunggu informasi dari guru. Siswa akan belajar jika ada transfer pengetahuan dan tugas-tugas dari gurunya. Mengubah sikap “menunggu informasi” menjadi “pencari dan pengkonstruksi informasi” merupakan kendala itu sendiri.
7)      Adanya budaya negatif di lingkungan siswa. Salah satu contohnya di lingkungan rumah. Pendapat orang tua selalu dianggap paling benar, ank dilarang membantah pendapat orang tuanya. Kondisi ini juga terbawa ke sekolah. Siswa terkondisi untuk “mengiakan” pendapat atau penjelasan guru. Siswa tidak berani mengemukakan pendapatnya yang mungkin berbeda dengan gurunya.

PENUTUP
Kesimpulan
            Konstruktivisme menyerukan perlunya partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran, perlunya pengembangan siswa belajar mandiri, dan perlunya siswa memiliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri. Dalam hal ini, pembelajaran berpusatkan pada siswa (student centered instruction).
Bagi aliran konstruktivisme, guru tidak lagi menduduki tempat sebagai pemberi ilmu. Tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Namun guru lebih diposisikan sebagai fasiltator yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri (Hudojo, 1998:5-6). Aliran ini lebih menekankan bagaimana siswa belajar bukan bagaimana guru mengajar.
Keunggulan pendekatan konstruktivisme adalah dalam proses membina pengetahuan baru murid lebih berpikir untuk menyelesaikan masalah, merencanakan ide, dan membuat kesimpulan, lebih paham dan mampu mengaplikasikannya, mampu mengingat lebih lama semua konsep, lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru, lebih interaktif karena adanya interaksi dengan rekan dan guru dalam membina pengetahuan baru, merasa senang karena mereka paham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan sehat.
Kelemahannya adalah pemahaman para siswa terhadap materi cenderung kurang merata, perlu persiapan yang lebih matang dari pendidik dan peserta didik, tidak jarang hasil konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi yang sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan sehingga menyebabkan miskonsepsi, dalam membangun pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda, situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreatifitas siswa.
Kemudian kendala-kendala penerapan pendekatan ini adalah peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung, ini juga disebabkan karena sulit mengubah keyakinan dan kebiasaan guru, guru kurang tertarik dan mengalami kesulitan mengelola kegiatan pembelajaran berbasis konstruktivisme, adanya anggapan guru bahwa penggunaan metode atau pendekatan baru dalam pembelajaran akan menggunakan waktu yang cukup besar, besarnya beban mengajar guru, latar pendidikan guru tidak sesuai dengan mata pelajaran yang diasuh, sistem evaluasi yang masih menekankan pada nilai akhir, pembelajaran ini mengisyaratkan perubahan sistem evaluasi yang belum diterapkan oleh guru, siswa terbiasa menunggu informasi dari guru, dan adanya budaya negatif di lingkungan siswa.

Saran
Saran yang dapat penulis berikan pada penulisan makalah ini adalah sebaiknya sistem pembelajaran yang diterapkan mengacu pada pendekatan konstruktivisme karena dari karakteristik pembelajarannya yang dapat memberikan sumbangan besar dalam membentuk manusia yang kreatif, produktif, dan mandiri.






DAFTAR PUSTAKA
Gerson.R.Tanwey 2002.Belajar dan Pembelajaran.Ambon: FKIP Universitas Pattimura Ambon
Trianto.2007.Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka

No comments: